Minggu, 17 Juni 2012


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT. Karena atas rahmat dan hidayahnya kepada saya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Psikologi Agama, dengan judul “Sejarah Perkembangan Psikologi Agama” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi kita, yaitu Nabi Muhammad saw. Yang telah membawa kita kealam kebodohan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Saya menyadari bahwa dalam pembuatan ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Maka dari itu saya mohon saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang  
Agama merupakan ilmu yang mempelajari tentang sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala kejiwaan yang melatarbelakanginya. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa psikologi Agama merupakan cabang dari ilmu psikologi. Sebelum menjadi ilmu yang otonom, psikologi Agama memiliki latar belakang sejarah perkembangan yang cukup panjang. Karena itulah psikologi Agama terhitung sebagai salah satu cabang psikologi yang masih muda.
Ada beberapa pendapat tentang awal mula perkembangan Psikologi Agama. Menurut pendapat para ahli psikologi Agama di barat, psikologi Agama mulai berkembang pada abad ke-19. Akan tetapi berdasarkan karya-karya yang dihasilkan dari para ilmuwan di timur tengah, ternyata diketahui bahwa pada abad ke-7 masehi sudah banyak karya-karya para Ilmuwan Islam yang erat hubungannya dengan materi Psikologi Agama. Akan tetapi terlepas dari semua pendapat tersebut, permasalahan yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi Agama ternyata telah ditemukan pada kitab-kitab suci. Agama maupun maupun sejarah berbagai Agama.
Sebagai contoh, dalam Ajaran Agama Budha diceritakan bahwa Sidarta Ghautama (tokoh pencetus Agama Budha), rela menyepi dan meninggalkan kemegahan dunia untuk bertapa setelah ia merenungi penderitaan manusia yang akhirnya berujung pada kematian. Hal ini mencerminkan bagaimana pengalaman hidup dapat mengubah seorang Ghautama dari pemeluk Agama Hindu yang taat menjadi seorang pelopor Agama Budha yang tidak sedikit pengikutnya. Dalam kitab suci umat Islam (Al Qur’an) diceritakan perjalanan seorang Nabi yang bernama Ibrahim dalam mencari hakikat siapa sebenarnya Tuhan yang berhak ia sembah. Cerita tentang Nabi Ibrahim ini termaktub dengan jelas dalam Al Qur’an surat Al An’am: 76-78. Kedua contoh di atas menggambarkan suatu proses peralihan kepercayaan yang dalam psikologi Agama disebut dengan konversi.
Makalah ini selanjutnya akan membahas tentang psikologi agama dalam lintasan sejarah, pendekatan ilmiah dalam psikologi agama dan kajian psikologi agama dikawasan timur.

B.     Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas pada kesempatan ini yaitu:
1.      Bagaimanakah Psikologi Agama Dalam Lintasan Agama?
2.      Bagaimanakah Pendekatan Ilmiah Dalam Psikologi Agama?
3.      Bagaimanakah Kajian Psikologi Agama Di Kawasan Timur?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Psikologi Agama Dalam Lintasan Sejarah
Untuk mengetahui secara pasti kapan agama diteliti secara psikologi memang agak sulit, sebab dalam agama itu sendiri telah terkandung didalamnya pengaruh agama terhadap jiwa. Bahkan dalam kitab- kitab suci setiap agama banyak menerangkan tentang proses jiwa atau keadaan jiwa seseorang karena pengaruh agama.
Dalam Al Qur’an misalnya, terdapat ayat- ayat yang menunjukkan keadaan jiwa orang- orang yang beriman atau sebaliknya, orang- orang kafir, sikap, tingkah laku dan doa- doa. Disamping itu juga terdapat ayat- ayat yang berbicara tentang kesehatan mental, penyakit dan gangguan kejiwaan serta kelainan sifat dan sikap yang terjadi karena kegoncangan kejiwaan sekaligus tentang perawatan jiwa.
Contoh  lain  adalah  proses  pencarian Tuhan yang dialami  oleh Nabi Ibrahim. Dalam kisah tersebut dilukiskan bagaimana proses konversi terjadi. Dalam kitab- kitab suci lain pun kita dapati proses dan peristiwa keagamaan, seperti yang terjadi dalam diri tokoh agama Budha, Sidharta Gautama atau dalam agama Shinto yang memitoskan kaisar jepang sebagai keturunan matahari yang membuat penganutnya sedemikian mendalam ketaatannya kepada kaisar, sehinga mereka rela mengorbankan nyawanya dalam Perang Dunia II demi kaisar, bahkan mereka melakukan harakiri.
Pengertian psikologi agama sebelum abad ke-19 telah ada dalam karya-karya ilmuan Muslim. Dapat disebut sebagai contoh tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar, pada abad ke-7 M, yang berjudul al-Sujar wa al-Maghazi, memuat berbagai fragmen dari biografi Nabi Muhammad Saw, atau risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar al-Hikmah al-Misyriqiiyyat yang ditulis oleh ibn Thufail (1106-1185) yang membahas tentang proses keagamaan seseorang. Karya agung yang dapat ditampilkan adalah Ihya’ Ulum al-Din dan al-Munqid min al-Dahlal  yang ditulis oleh Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1059-1111 M) yang memuat permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan materi kajian psikologi agama. Meski demikian, penilaian secara modern barub dilakukan pada abad ke-19.
Psikologi agama bukanlah ilmu yang pertama meneliti aspek-aspek agama secara objektif. Sebelumnya telah ada ilmu perbandingan agama yang dipelopori oleh Max Muller. Dalam kenyataannya setiap orang mempumnyai tata nilai yang tersusun secara sistematis. Tata nilai tersebut menyangkut nilai-nilai keagamaan dan nilai iman yang mempengaruhi hidup, pribadi maupun struktur serta budaya hidup kemasyarakatan. Dari sini kemudian muncul apa yang dinamakan dengan sosiologi agama (The Sosiology of Religion) yang membahas tentang struktur dan kultur masyarakat dan sejauh mana dia tertumpu pada pengahayatan dan pengalaman hidup beragama. Diantara tokohnya adalah Ibnu Khaldun, Max Weber (1684-1920) dan sebagainya. Baru kemudian muncul psikologi agama (The Sosiology OF Religion) yang mengkaji pengalaman-pengalaman agama dalam hubunganya dengan tingkah laku manusia.
B.     Pendekatan Ilmiah Dalam Psikologi Agama
Dalam perkembangannya, psikologi agama tidak hanya mengkaji kehidupan secara umum tapi juga masalah- masalah khusus. Pembahasan tentang kesadaran beragama misalnya, dikupas oleh B. Pratt dalam bukunya The Religious Consciousness, sedangkan Rudolf Otto membahas sembahyang. Perkembangan beragama pun tidak luput dari kajian para ahli psikologi agama. Piere Binet adalah salah satu tokoh psikologi agama awal yang membahas tentang perkembangan jiwa keberagamaan. Menurut Binet, agama pada anak- anak tidak beda dengan agama pada orang dewasa. Pada anak- anak dimana mungkin dialami oleh orang dewasa, seperti merasa kagum dalam menyaksikan alam ini, adanya kebaikan yang tak terlihat, kepercayaan akan kesalahan dan sebagian dari pengalaman itu merupakan fakta- fakta asli yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan.
Sementara menurut Abdul Mun’in Al-Malighy, sebagaimana dikutip oleh Zakiah Daradjat, orang yang pertama mengkaji psikologi agama secara ilmiah adalah Frazae dan Taylor. Kedua tokoh ini membentangkan berbagi macam agama primitif, dan menemukan persamaan yang sangat jelas antara berbagi bentuk ibadah pada agama Kristen dan ibadah  agama-agama primitif. Sebagai contoh adalah pengorbanan karena dosa warisan, keingkaran, hari berbangkit, dan sebagainya. Hasil dari penelitian ini telah membangkitkan para ahli untuk mempelajari dan meneliti aspek-aspek kehidupan manusia,sehingga mulailah psikologi agama mengumpulkan bahan-bahan yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, dipadu dengan meneliti riwayat hidup dan hasil karya ahli tasawuf dan ulam-ulama terkenal. Maka terkumpulah bahan-bahan untuk penelitib psikologi agama dari ilmu-ilmu pengetahuan terdahulu, seperti sejarah agama, hasil interaksi sosial mereka: ibadah, legenda (mitos), kepercayaan, undang-undang dan sebaginya.
Permasalahan tingkah laku beragama semakin menarik untuk diteliti, sehingga usaha penelitian terus dikembangkan, maka ada yang berlebihan. Hal inindapat dilihat dari hasil penelitian Madical Materialism yang kontroversial. Mereka menerangkan fakta-fakta agamis secara fisik, dan beranggapan bahwa keadaan jiwa atau pikiran sebagai ungkapan fungsi organik. Keistimewaan orang-orang suci dan tenggelamnya mereka dalam kehidupan ruhani dianggap sebagai akibat dari penyakit-penyakit jasmani, misalnya disebabakan oleh kegoncangan sebagai kelenjar-kelenjar atau terjadinya keracunan (Outo intoxication). Dengan demikian, pribadi-pribadi orang sufi yang mempunyai kekuatan jiwa, menurut mereka, adalah karena ketidak sehatan jiwa mereka. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa Saint Paul adalah orang yang mengalami kerusakan keturunan (heredity degeneration), Carlyle menderita keracunan (Outo intoxicated), bahkan Isa Al-Masih, menurut Binet Sangle, dianggap sebagai orang yang mempunyai kepribadian schizophrenic. Hasil penelitian tersebut mendapat sanggahan dari beberapa ahli psikologi, antara lain dilontarkan oleh Flornoy.
Tokoh lain yang mengkaji beberapa tulisan dan biografi pemuka-pemuka agama adalah William James, dengan karyanya yang monumental The Varieties of Religiuos Experience. Buku tersebut merupakan hasil kuliah selama setahun. Menurut James, ahli agama akan dapat meneliti dorongan-dorongan agama pada seseorang, seperti mempelajari dorongan-dorongan jiwa lainya dalam konstruksi pribadi orang tersebut. James mendefinisikan agama dengan persaan dan pengalaman manusia secara individual yang menganggap bahwa mereka berhubungan dengan apa yang dipandangnya sebagai Tuhan. Tuhan, menurutnya adalah kebenaran pertama yang menyebabkan manusia merasa terdoron untuk mengadakan reaksi yang penuh hikmat dan sungguh-sungguh tanpa menggerutu atau menolaknya. James juga menjelaskan bahwa agama dalam kehidupan seseorang bukanlah suatu naluri yang berdiri sendiri atau emosi tertentu. Agama adalah kata yang dapat digunakan  untuk menjelaskan emosi atau perasaan biasa. Cinta agama, misalnya adalah cinta biasa dengan objek yang dicintai adalah Tuhan; takut agama adalah takut biasa yang objeknya hukum Tuhan.
Pada tahun 1911, George M. Straton menerbitkan buku Psychology of Religious Life. Dalam buku tersebut diungkap bahwa sumber agama adalah konflik jiwa dalam diri individu. Sementara Flornoy (1901) berusaha mengumpulkan semua penelitian psikologi dan menyusun prinsip-prinsip penelitian.
Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1.      Menjauhkan peneliti dari transendence,
2.      Prinsip mempelajari perkembangan,
3.      Prinsip dinamik,
4.      Prinsip perbandingan.
Dalam perkembangannya, psikologi agama tidak hanya mengkaji kehidupan secara umum, tapi juga masalah-masalah khusus. Pembahasan tentang kesadaran beragama, misalnya, dikupas oleh B. Pratt Otto membahas sembahyang. Perkembangan beragamapun tidak luput dari kajian para ahli psikologi agama. Piere Binet adalah salah satu tokoh psikologi agama awal yang membahas  tentang perkembangan jiwa keberagamaan. Menurut Binet, agama pada anak-anak tidak beda dengan agama pada orang dewasa. Pada anak-anak, dimana mungkin juga dialami oleh orang dewasa, seperti merasa kagum dalam menyaksikan alam semsesta ini, adanya kebaikan yang tidak terlihat, kepercayaan kesalahan dan sebagian dari pengalaman itu merupakan fakta-fakta asli yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan.
Tokoh berikutnya yang muncul adalah Robert H. Thouless (1923). Thouless berusaha mempelajari agama dari segi psikologis. Sementara dari beberapa tokoh psikologi juga mengungkap tentang tingkah laku beragama. Sigmud Freud, tokoh psikoanalis, mengemukakan pendapat bahwa campultion dan obsession adalah agama tertentu yang rusak. Freud menganalisis agama orang-orang primitif sebagai objek kajiannya, dengan menggambarkan sesembahan totem and tabbo, yang terganggu jiwanya dengan orang-orang primitif. Disinilah, menurut Freud, ditemukan hubungan antara kompleks oudipus. Dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa agama adalah gangguan jiwa dan kemunduran kembali kepada hidup yang berdasarkan kelezatan.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Gordon W. Allport dengan karyanya The Individual and His Religion (1950), W.H. Clark dengan karyanya The psichology of Religion. Masing-masing buku tersebut membahas perkembangan jiwa beragama sejak kecil hingga dewasa.
C.    Kajian Psikologi Agama Di Kawasan Timur

Dalam Dunia Timur tidak mau ketinggalan. Abdul Mun’in Abdul Aziz al Malighy misalnya, juga menulis kajian perkembangan jiwa beragama pada anak- anak dan remaja. Sementara didaratan anak benua Asia dan India juga terbit buku- bukuyang berkaitan dengan psikologi agama. Jalaluddin menyebut judul buku berikut pengarangnya antara lain: The Song of God: Baghavad Gita.
Sedang di Indonesia, sekitar tahun 1970-an tulisan tentang psikologi agama baru muncul. Karya yang patut dikedepankan adalah: Ilmu Jiwa Agama oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Agama dan Kesehatan Jiwa oleh prof. Dr. Aulia (1961), Islam dan Psikosomatik oleh S.S. Djami’an, Pengalaman dan Motivasi Beragama oleh Nico Syukur Dister, Al Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa oleh Dadang Hawari dan sebagainya. Dalam bukuyang disebut terakhir misalnya, meskipun yang menjadi pembahasan mengenai kedokteran jiwa, akan tetapi membahas pula aspek- aspek agama atau spiritual dalam kaitannya dengan jiwa seseorang.
Pada  saat sekarang, dalam dua puluh tahun belakangan ini, harus mempelajari dari mencangkokan psikologi Timur pada body of knowledge psikologi Barat sangat kuat. Bahkan, arah baru ini sering disebut-disebut. Tokoh yang pantas disebut dalam hal ini adalah Robert Ornstein dengan bukunya The Pcychology of  Consciousness, Charles Tart dengan bukunya States Consciousness dan Stuart B. Litvak yang menulis buku panduan psikologi  How to Study Pcychology:  A Basic Field Guide for Student and Enthusiasts.





BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Pengertian psikologi agama sebelum abad ke-19 telah ada dalam karya-karya ilmuan Muslim. Dapat disebut sebagai contoh tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar, pada abad ke-7 M, yang berjudul al-Sujar wa al-Maghazi, memuat berbagai fragmen dari biografi Nabi Muhammad Saw, atau risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar al-Hikmah al-Misyriqiiyyat yang ditulis oleh ibn Thufail (1106-1185) yang membahas tentang proses keagamaan seseorang.
Dalam perkembangannya, psikologi agama tidak hanya mengkaji kehidupan secara umum tapi juga masalah- masalah khusus. Pembahasan tentang kesadaran beragama misalnya, dikupas oleh B. Pratt dalam bukunya The Religious Consciousness, sedangkan Rudolf Otto membahas sembahyang.
Pada  saat sekarang, dalam dua puluh tahun belakangan ini, harus mempelajari dari mencangkokan psikologi Timur pada body of knowledge psikologi Barat sangat kuat. Bahkan, arah baru ini sering disebut-disebut.

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan guna perbaikan dimasa yang akan datang.



 

DAFTAR PUSTAKA

Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Ramayulis, H. Prof. Dr. 2003. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta : Kalam Mulia