Minggu, 17 Juni 2012


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT. Karena atas rahmat dan hidayahnya kepada saya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Psikologi Agama, dengan judul “Sejarah Perkembangan Psikologi Agama” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi kita, yaitu Nabi Muhammad saw. Yang telah membawa kita kealam kebodohan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Saya menyadari bahwa dalam pembuatan ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Maka dari itu saya mohon saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang  
Agama merupakan ilmu yang mempelajari tentang sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala kejiwaan yang melatarbelakanginya. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa psikologi Agama merupakan cabang dari ilmu psikologi. Sebelum menjadi ilmu yang otonom, psikologi Agama memiliki latar belakang sejarah perkembangan yang cukup panjang. Karena itulah psikologi Agama terhitung sebagai salah satu cabang psikologi yang masih muda.
Ada beberapa pendapat tentang awal mula perkembangan Psikologi Agama. Menurut pendapat para ahli psikologi Agama di barat, psikologi Agama mulai berkembang pada abad ke-19. Akan tetapi berdasarkan karya-karya yang dihasilkan dari para ilmuwan di timur tengah, ternyata diketahui bahwa pada abad ke-7 masehi sudah banyak karya-karya para Ilmuwan Islam yang erat hubungannya dengan materi Psikologi Agama. Akan tetapi terlepas dari semua pendapat tersebut, permasalahan yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi Agama ternyata telah ditemukan pada kitab-kitab suci. Agama maupun maupun sejarah berbagai Agama.
Sebagai contoh, dalam Ajaran Agama Budha diceritakan bahwa Sidarta Ghautama (tokoh pencetus Agama Budha), rela menyepi dan meninggalkan kemegahan dunia untuk bertapa setelah ia merenungi penderitaan manusia yang akhirnya berujung pada kematian. Hal ini mencerminkan bagaimana pengalaman hidup dapat mengubah seorang Ghautama dari pemeluk Agama Hindu yang taat menjadi seorang pelopor Agama Budha yang tidak sedikit pengikutnya. Dalam kitab suci umat Islam (Al Qur’an) diceritakan perjalanan seorang Nabi yang bernama Ibrahim dalam mencari hakikat siapa sebenarnya Tuhan yang berhak ia sembah. Cerita tentang Nabi Ibrahim ini termaktub dengan jelas dalam Al Qur’an surat Al An’am: 76-78. Kedua contoh di atas menggambarkan suatu proses peralihan kepercayaan yang dalam psikologi Agama disebut dengan konversi.
Makalah ini selanjutnya akan membahas tentang psikologi agama dalam lintasan sejarah, pendekatan ilmiah dalam psikologi agama dan kajian psikologi agama dikawasan timur.

B.     Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas pada kesempatan ini yaitu:
1.      Bagaimanakah Psikologi Agama Dalam Lintasan Agama?
2.      Bagaimanakah Pendekatan Ilmiah Dalam Psikologi Agama?
3.      Bagaimanakah Kajian Psikologi Agama Di Kawasan Timur?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Psikologi Agama Dalam Lintasan Sejarah
Untuk mengetahui secara pasti kapan agama diteliti secara psikologi memang agak sulit, sebab dalam agama itu sendiri telah terkandung didalamnya pengaruh agama terhadap jiwa. Bahkan dalam kitab- kitab suci setiap agama banyak menerangkan tentang proses jiwa atau keadaan jiwa seseorang karena pengaruh agama.
Dalam Al Qur’an misalnya, terdapat ayat- ayat yang menunjukkan keadaan jiwa orang- orang yang beriman atau sebaliknya, orang- orang kafir, sikap, tingkah laku dan doa- doa. Disamping itu juga terdapat ayat- ayat yang berbicara tentang kesehatan mental, penyakit dan gangguan kejiwaan serta kelainan sifat dan sikap yang terjadi karena kegoncangan kejiwaan sekaligus tentang perawatan jiwa.
Contoh  lain  adalah  proses  pencarian Tuhan yang dialami  oleh Nabi Ibrahim. Dalam kisah tersebut dilukiskan bagaimana proses konversi terjadi. Dalam kitab- kitab suci lain pun kita dapati proses dan peristiwa keagamaan, seperti yang terjadi dalam diri tokoh agama Budha, Sidharta Gautama atau dalam agama Shinto yang memitoskan kaisar jepang sebagai keturunan matahari yang membuat penganutnya sedemikian mendalam ketaatannya kepada kaisar, sehinga mereka rela mengorbankan nyawanya dalam Perang Dunia II demi kaisar, bahkan mereka melakukan harakiri.
Pengertian psikologi agama sebelum abad ke-19 telah ada dalam karya-karya ilmuan Muslim. Dapat disebut sebagai contoh tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar, pada abad ke-7 M, yang berjudul al-Sujar wa al-Maghazi, memuat berbagai fragmen dari biografi Nabi Muhammad Saw, atau risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar al-Hikmah al-Misyriqiiyyat yang ditulis oleh ibn Thufail (1106-1185) yang membahas tentang proses keagamaan seseorang. Karya agung yang dapat ditampilkan adalah Ihya’ Ulum al-Din dan al-Munqid min al-Dahlal  yang ditulis oleh Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1059-1111 M) yang memuat permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan materi kajian psikologi agama. Meski demikian, penilaian secara modern barub dilakukan pada abad ke-19.
Psikologi agama bukanlah ilmu yang pertama meneliti aspek-aspek agama secara objektif. Sebelumnya telah ada ilmu perbandingan agama yang dipelopori oleh Max Muller. Dalam kenyataannya setiap orang mempumnyai tata nilai yang tersusun secara sistematis. Tata nilai tersebut menyangkut nilai-nilai keagamaan dan nilai iman yang mempengaruhi hidup, pribadi maupun struktur serta budaya hidup kemasyarakatan. Dari sini kemudian muncul apa yang dinamakan dengan sosiologi agama (The Sosiology of Religion) yang membahas tentang struktur dan kultur masyarakat dan sejauh mana dia tertumpu pada pengahayatan dan pengalaman hidup beragama. Diantara tokohnya adalah Ibnu Khaldun, Max Weber (1684-1920) dan sebagainya. Baru kemudian muncul psikologi agama (The Sosiology OF Religion) yang mengkaji pengalaman-pengalaman agama dalam hubunganya dengan tingkah laku manusia.
B.     Pendekatan Ilmiah Dalam Psikologi Agama
Dalam perkembangannya, psikologi agama tidak hanya mengkaji kehidupan secara umum tapi juga masalah- masalah khusus. Pembahasan tentang kesadaran beragama misalnya, dikupas oleh B. Pratt dalam bukunya The Religious Consciousness, sedangkan Rudolf Otto membahas sembahyang. Perkembangan beragama pun tidak luput dari kajian para ahli psikologi agama. Piere Binet adalah salah satu tokoh psikologi agama awal yang membahas tentang perkembangan jiwa keberagamaan. Menurut Binet, agama pada anak- anak tidak beda dengan agama pada orang dewasa. Pada anak- anak dimana mungkin dialami oleh orang dewasa, seperti merasa kagum dalam menyaksikan alam ini, adanya kebaikan yang tak terlihat, kepercayaan akan kesalahan dan sebagian dari pengalaman itu merupakan fakta- fakta asli yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan.
Sementara menurut Abdul Mun’in Al-Malighy, sebagaimana dikutip oleh Zakiah Daradjat, orang yang pertama mengkaji psikologi agama secara ilmiah adalah Frazae dan Taylor. Kedua tokoh ini membentangkan berbagi macam agama primitif, dan menemukan persamaan yang sangat jelas antara berbagi bentuk ibadah pada agama Kristen dan ibadah  agama-agama primitif. Sebagai contoh adalah pengorbanan karena dosa warisan, keingkaran, hari berbangkit, dan sebagainya. Hasil dari penelitian ini telah membangkitkan para ahli untuk mempelajari dan meneliti aspek-aspek kehidupan manusia,sehingga mulailah psikologi agama mengumpulkan bahan-bahan yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, dipadu dengan meneliti riwayat hidup dan hasil karya ahli tasawuf dan ulam-ulama terkenal. Maka terkumpulah bahan-bahan untuk penelitib psikologi agama dari ilmu-ilmu pengetahuan terdahulu, seperti sejarah agama, hasil interaksi sosial mereka: ibadah, legenda (mitos), kepercayaan, undang-undang dan sebaginya.
Permasalahan tingkah laku beragama semakin menarik untuk diteliti, sehingga usaha penelitian terus dikembangkan, maka ada yang berlebihan. Hal inindapat dilihat dari hasil penelitian Madical Materialism yang kontroversial. Mereka menerangkan fakta-fakta agamis secara fisik, dan beranggapan bahwa keadaan jiwa atau pikiran sebagai ungkapan fungsi organik. Keistimewaan orang-orang suci dan tenggelamnya mereka dalam kehidupan ruhani dianggap sebagai akibat dari penyakit-penyakit jasmani, misalnya disebabakan oleh kegoncangan sebagai kelenjar-kelenjar atau terjadinya keracunan (Outo intoxication). Dengan demikian, pribadi-pribadi orang sufi yang mempunyai kekuatan jiwa, menurut mereka, adalah karena ketidak sehatan jiwa mereka. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa Saint Paul adalah orang yang mengalami kerusakan keturunan (heredity degeneration), Carlyle menderita keracunan (Outo intoxicated), bahkan Isa Al-Masih, menurut Binet Sangle, dianggap sebagai orang yang mempunyai kepribadian schizophrenic. Hasil penelitian tersebut mendapat sanggahan dari beberapa ahli psikologi, antara lain dilontarkan oleh Flornoy.
Tokoh lain yang mengkaji beberapa tulisan dan biografi pemuka-pemuka agama adalah William James, dengan karyanya yang monumental The Varieties of Religiuos Experience. Buku tersebut merupakan hasil kuliah selama setahun. Menurut James, ahli agama akan dapat meneliti dorongan-dorongan agama pada seseorang, seperti mempelajari dorongan-dorongan jiwa lainya dalam konstruksi pribadi orang tersebut. James mendefinisikan agama dengan persaan dan pengalaman manusia secara individual yang menganggap bahwa mereka berhubungan dengan apa yang dipandangnya sebagai Tuhan. Tuhan, menurutnya adalah kebenaran pertama yang menyebabkan manusia merasa terdoron untuk mengadakan reaksi yang penuh hikmat dan sungguh-sungguh tanpa menggerutu atau menolaknya. James juga menjelaskan bahwa agama dalam kehidupan seseorang bukanlah suatu naluri yang berdiri sendiri atau emosi tertentu. Agama adalah kata yang dapat digunakan  untuk menjelaskan emosi atau perasaan biasa. Cinta agama, misalnya adalah cinta biasa dengan objek yang dicintai adalah Tuhan; takut agama adalah takut biasa yang objeknya hukum Tuhan.
Pada tahun 1911, George M. Straton menerbitkan buku Psychology of Religious Life. Dalam buku tersebut diungkap bahwa sumber agama adalah konflik jiwa dalam diri individu. Sementara Flornoy (1901) berusaha mengumpulkan semua penelitian psikologi dan menyusun prinsip-prinsip penelitian.
Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1.      Menjauhkan peneliti dari transendence,
2.      Prinsip mempelajari perkembangan,
3.      Prinsip dinamik,
4.      Prinsip perbandingan.
Dalam perkembangannya, psikologi agama tidak hanya mengkaji kehidupan secara umum, tapi juga masalah-masalah khusus. Pembahasan tentang kesadaran beragama, misalnya, dikupas oleh B. Pratt Otto membahas sembahyang. Perkembangan beragamapun tidak luput dari kajian para ahli psikologi agama. Piere Binet adalah salah satu tokoh psikologi agama awal yang membahas  tentang perkembangan jiwa keberagamaan. Menurut Binet, agama pada anak-anak tidak beda dengan agama pada orang dewasa. Pada anak-anak, dimana mungkin juga dialami oleh orang dewasa, seperti merasa kagum dalam menyaksikan alam semsesta ini, adanya kebaikan yang tidak terlihat, kepercayaan kesalahan dan sebagian dari pengalaman itu merupakan fakta-fakta asli yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan.
Tokoh berikutnya yang muncul adalah Robert H. Thouless (1923). Thouless berusaha mempelajari agama dari segi psikologis. Sementara dari beberapa tokoh psikologi juga mengungkap tentang tingkah laku beragama. Sigmud Freud, tokoh psikoanalis, mengemukakan pendapat bahwa campultion dan obsession adalah agama tertentu yang rusak. Freud menganalisis agama orang-orang primitif sebagai objek kajiannya, dengan menggambarkan sesembahan totem and tabbo, yang terganggu jiwanya dengan orang-orang primitif. Disinilah, menurut Freud, ditemukan hubungan antara kompleks oudipus. Dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa agama adalah gangguan jiwa dan kemunduran kembali kepada hidup yang berdasarkan kelezatan.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Gordon W. Allport dengan karyanya The Individual and His Religion (1950), W.H. Clark dengan karyanya The psichology of Religion. Masing-masing buku tersebut membahas perkembangan jiwa beragama sejak kecil hingga dewasa.
C.    Kajian Psikologi Agama Di Kawasan Timur

Dalam Dunia Timur tidak mau ketinggalan. Abdul Mun’in Abdul Aziz al Malighy misalnya, juga menulis kajian perkembangan jiwa beragama pada anak- anak dan remaja. Sementara didaratan anak benua Asia dan India juga terbit buku- bukuyang berkaitan dengan psikologi agama. Jalaluddin menyebut judul buku berikut pengarangnya antara lain: The Song of God: Baghavad Gita.
Sedang di Indonesia, sekitar tahun 1970-an tulisan tentang psikologi agama baru muncul. Karya yang patut dikedepankan adalah: Ilmu Jiwa Agama oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Agama dan Kesehatan Jiwa oleh prof. Dr. Aulia (1961), Islam dan Psikosomatik oleh S.S. Djami’an, Pengalaman dan Motivasi Beragama oleh Nico Syukur Dister, Al Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa oleh Dadang Hawari dan sebagainya. Dalam bukuyang disebut terakhir misalnya, meskipun yang menjadi pembahasan mengenai kedokteran jiwa, akan tetapi membahas pula aspek- aspek agama atau spiritual dalam kaitannya dengan jiwa seseorang.
Pada  saat sekarang, dalam dua puluh tahun belakangan ini, harus mempelajari dari mencangkokan psikologi Timur pada body of knowledge psikologi Barat sangat kuat. Bahkan, arah baru ini sering disebut-disebut. Tokoh yang pantas disebut dalam hal ini adalah Robert Ornstein dengan bukunya The Pcychology of  Consciousness, Charles Tart dengan bukunya States Consciousness dan Stuart B. Litvak yang menulis buku panduan psikologi  How to Study Pcychology:  A Basic Field Guide for Student and Enthusiasts.





BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Pengertian psikologi agama sebelum abad ke-19 telah ada dalam karya-karya ilmuan Muslim. Dapat disebut sebagai contoh tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar, pada abad ke-7 M, yang berjudul al-Sujar wa al-Maghazi, memuat berbagai fragmen dari biografi Nabi Muhammad Saw, atau risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar al-Hikmah al-Misyriqiiyyat yang ditulis oleh ibn Thufail (1106-1185) yang membahas tentang proses keagamaan seseorang.
Dalam perkembangannya, psikologi agama tidak hanya mengkaji kehidupan secara umum tapi juga masalah- masalah khusus. Pembahasan tentang kesadaran beragama misalnya, dikupas oleh B. Pratt dalam bukunya The Religious Consciousness, sedangkan Rudolf Otto membahas sembahyang.
Pada  saat sekarang, dalam dua puluh tahun belakangan ini, harus mempelajari dari mencangkokan psikologi Timur pada body of knowledge psikologi Barat sangat kuat. Bahkan, arah baru ini sering disebut-disebut.

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan guna perbaikan dimasa yang akan datang.



 

DAFTAR PUSTAKA

Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Ramayulis, H. Prof. Dr. 2003. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta : Kalam Mulia



Rabu, 30 Mei 2012

MAKALAH PSIKOLOGI AGAMA ( PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN)


MAKALAH


PSIKOLOGI AGAMA
PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN

Di Susun Oleh
·        Ida Zakiyah


DOSEN PEMBIMBING
Dra. Rosma Hartiny Sam’s M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) BENGKULU
2012


 

KATA PENGANTAR

Teriring do’a sebagai seorang hamba, segenap ikhtiar sebagai seorang khalifah, dan segala puji syukur milik Allah SWT, Pencipta semesta alam, yang menaburkan kehidupan dengan penuh hikmah. Dengan limpahan rahmat, taufik serta inayah-Nya, penulis diberikan kekuantan untuk menyeleseikan makalah yang berjudul “pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan”.
Sholawat serta salam senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW, sang penerang umat, juga kepada keluarga yang mulia,sahabatnya yang tercinta dan umatnya yang setia  akhir zaman semoga kita mendapat syafaat-Nya.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak.  Sebagaimana pepatah mengatakan  Tiada gading yang tak retak, maka penulisan makalah inipun tentunya dijumpai banyak kekurangan dan kelemahan. Untuk itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharap tegur serta saran-saran penyempurnaan, agar kekurangan dan kelemahan yang ada tidak sampai mengurangi nilai dan manfaat bagi pendidikan studi Islam pada umumnya.

Bengkulu,  Mei 2012


Penulis             


BAB 1
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
Manusia dilahirkan di dunia ini dalam keadaan fitrah, sehingga pengaruh lingkungan akan turut mempengaruhi perkembangan seseorang. Baik ataupun buruknya lingkungan akan menjadi referensi bagi perkembangan masyarakat sekitarnya. WH. Clarck mengemukakan bahwa bayi yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh berbagai kemampuan yang bersifat bawaan. Disini mengandung pengertian bahwa sifat bawaan seseorang tersebut memerlukan sarana untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan sarana yang tepat dalam mencapai hal tersebut. Baik pendidikan keluarga, formal ataupun non formal sekalipun. Terlebih sebagai umat islam maka pendidikan islam tentu menjadi sebuah jalan yang harus ditempuh oleh semua umat.

B.     Rumusan Maslah.
1.      Bagaimana penjelasan pendidikan keluarga?
2.      Bagaimana penjelasan pendidikan kelembagaan?
3.      Bagaimana penjelasan pendidikan dimasyarakat?
4.      Bagaiman penjelasan agama dan masalah sosial?
 


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pendidikan Keluarga.
Barang kali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan. Anak-anak pada masa bayi sampai sekolah memiliki lingkungan tunggal, Yaitu keluarga. Makanya tidak mengheran kan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anank-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak bangundari tidur hingga saat akan tidur kembali, Anak-anak kenerima pengaruh dan pendidikan keluarga(Gilbert Highest, 1961:78).
Bayi yang baru lahir merupakan  mahluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh bebagai kemampuan yang bersifat bawaan, Disini terlihat oleh berbagai aspek yang kontradiktif. Disatu pihak bayi bayi berada dalam kondisi tanpa daya, Sedang dipihak lain bayi mempunyai kemampuan untuk berkembang (exploratif). Tetapi menurut Walter Houston Clark, Perkembangan bayi tidak dapat berlangsung secara normal tanpa adanya interfensi dari luar, Walaupun secara alami ia memiliki potensi bawaan. Seandai nya bayi dalam pertumbuhan dan perkembangan nya hanya diharapkan menjadi manusia normal sekalipun, Maka ia memerlukan berbagai persyaratan tertentu serta pemeliharaan yang berkesinambungan (W.H.CLrak,1964:2).
Dua ahli psikologi prancis bernama Itar dan sanguin pernah meniliti anak-anak asuhan srigala. Mereka menemukan dua oarang bayiyang dipelihara oleh seklompok srigala disebuah gua, Ketika ditemukan, kedua bayi manusia itu sudahberusia kanak-kanak. Namun, Kedua bayi tersebut tidak menunjukkan kemampuan yang seharus nya dimiliki manusia pada usia kanak-kanak. Tak seorangpun diantara keduanya mampu mengucapakan kata-kata, kecuali aungan sekor srigala. Keduanya juga berjalan merangkak dan makan dngan cera menjilat. Dan terlihat pertumbuhan gigi serinya paling pinggir lebih runcing menyrupai taring srigala. Setelah dikembalikan kelingkungan masyarakat mnusia, ternyata kedua anak-anak hasil asuhan srigala tak dapat menyesuikan diri, dan akhir nya mati.
Contoh diatas menunjukkan bagaimana pengaruh pendidikan, Baik dalam bentuk pemeliharaan ataupun pembentukan kebiasaan terhadap massa depan perkembangan seorang anak. Meskipun seorang anak /bayi manusia yang dibekali sebuah potensi kemanusiaan, Namun dilingkungan pemeliharaan srigala tersebut potensi tidak berkembang.
Kondisi  seperti itu tampak nya menyebabkan manusia memerlukan pemeliharaan, Pengawasan dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangan dapat berjalan baik dan benar. Manusia memang bukan mahkluk yan instintik  secara utuh, Sehingga ia tidak mungkin berkembang dan tumbuh secara instingtif sepenuh nya. Makanya menurut W.H. Clrak, bayi memerlukan persyaratan-persyaratan tertentupengawasan serta pemeliharaan terus menerus sebagai latihan dasar dalam pembentukan dasar dalam pembentukan kebiasaan dan sikap-sikap tertentu agar ia memiliki kemungkinanuntuk berkembang secara wajar dalam kehidupan dimassa depan.
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua adalh pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi ank-anaknya  karena secara kodrat ibu dan ayah diberikan anugrah oleh tuhan penciptaberupa naluri orang tua. Karena naluri ini,timbul kasih sayangpara orang tua terhadap anak mereka, sehingga secara moral kedua nya merasa terbeban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi ,melindungi, serta membimbing keturunan mereka.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan agama menurut W.H.Clark, berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit di identifikasisecara jelas, karena masalh menyangkut kejiwaan, manusia begitu rumit dan kompleksnya. Namun demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sederhana tersebut, Agama terjalin dan terlibat didalam nya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang. Dalam kaitan pula itulah terlihat peran pendidikan keluarga,dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak, Maka. Tak mengheran kan jika rosul menekan kan tanggung jawab itu pada kedua orang tua.

B.     Penidikan Kelembagaan.
  Di masyarakat primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umumnya dididik dilingkungan keluarga dan masyarakat lingkungan nya. Pendidik secara kelembagaan memang belom diperlukan, karena fariasi profesi dalam kehidupan belom ada. Jika anak dilahirkan dilingkungan keluarga tani, Maka dapat dipastikan ia akan menjadi petani seperti orang tua dan masyarakat lingkungan nya. Demikian pula anak seorang nelayan, Ataupun anak seorang pemburu.
Sebaliknya, dimasyarakat yang telah memiliki peradaban modern, tradisi seperti itu tak mungkin dipertahankan. Untuk menyeleraskan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya, Seseorang memerlukan pendidikan. Sejalan dengan kepentingan itu, Maka dibentuk lembaga khusus yang menylenggarakn tugas-tugas kependidikan dimaksud. Dengan demikian, Secara kelembagaan maka sekolah-sekolah pada hakikat nya adalah merupakan lembaga pendidikan yang artifisialis (sengaja dibuat).
Selain itu, sejalan dengan fungsi dan peranan nya, maka sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelajud dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahakn kesekolah-sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan massa depan anak-anak, terkadang para orang tua sangat efektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mungkin saja para orang tua yang berasal dari keluarga taat beragam akan memasukkan anak-anak nya kesekolah agama. Sebalik nya, para oarang tua lain lebih mengarahkan anak mereka kesekolah umum. Ataau sebalik nya orang tua yang mengendalikan anak nya sulit bisa juga para orang tua memasukkan anak nya kesekolah Agama dengan tujuan pembentukan kepribadian yang lebih baik.
Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak, antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Dalam konteks ini guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima pendidikan agama yang dibarikannya.
Menurut Mc Guire proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya perhatian; kedua, adanya pemahaman; dan ketiga, adanya penerimaan (Djamaluddin Ancol: 40-41). Dengan demikian pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak, sengat tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu. Pertama, pendidikan agama yang diberikan harus dapat menarik perhatian peserta didik. Untuk menopang pencapaian itu, maka guru agama harus dapat merencanakan materi, metode serta alat-alat bantu yang menungkinkan anak-anak memberikan perhatiannya.
Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan yang diberkannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Jadi tidak terbatas plada kegiatan yag bersifat hafalan semata. Ketiga, penerimaan siswa terhadap meteri pendidikan agama yang diberikan. Plenerimaan ini sangat tergantung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik. Dan sikap menerima tersebut pada garis besarnya banyak ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri, antara lain memiliki keahllian dalam bidang agama dan memiliki sifat-sifatyang sejalan dengan ajaran agama, seperti jujur dan dapat dipercaya. Kedua ciri ini akan sangat menetukan dalam mengubah sikap para anak didik.

C.     Pendidikan di Masyarakat.
 Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi pendidikan anak didik adalah keluarga, kelembagaan pendidiklan dan lingkungan masyarakat. Kerasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Seperti diketahi bahwa dalam keadaan yang ideal, pertumbuhan seseorang menjadi sosok yang memiliki kepribadian terintegrasi dalam berbagai aspek mencakup fisik,psikis,moral dan spritual (M.Buchori: 155). Maka menurut Wetherington, untuk mencapai tujuan itu perlu pola asuh yang serasi, menurutnya adaenam aspek dalam mengasuh pertumbuhan itu,  yaitu:
1.      Fakta-fakta asuhan;
2.      Alat-alatnya;
3.      Regularitas;
4.      Perlindungan; dan
5.      Unsur waktu (M.Buchori: 156).
 Wetherington memberi contoh mengenai fakta asuhana yanng diberikan kepada anak kembar yang diasuh di lingkungan yang berbeda. Hasilnya ternyata menunjukkan bahwa ada perbedaan antara keduanya sebagai hasil pengaruh lingkungan. Selanjutnya ia mengutip hasil penelitian Newman tentang adanya perbedaan dalam lingkungan sosial dan pendidikan menghasilkan perbedaan-perbedaan yang tidak dapat disangkal. Dengan demikian menurutnya, kehidupan rumah (keluarga) yang baik dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang penting dalam perubahan psikis (kejiwaan) dan dalam suasana yang lebih kaya pada suatu sekolah perubahan-perubahan semacam itu akan lebih banyak lagi (M.Buchori: 156).
Selanjutnya karena asuhan terhadap perumbuhan anak harus berlangsung secara teratur dan terus-menerus. Oleh karena itu, lingkungan masyarakat akan memberikan dampak dalam pembentukan pertumbuhan itu. Jika pertumbuhan fisik akan mberhenti saat anak mencapai usia dewasa, namun pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa masa asuhan di kelembagaan pendidikan (sekolah) hanya berlangsung selama waktu tertentu. Sebaliknya asuhan oleh masyarakat akan berjalan seumur hidup. Dalam kaitan ini ada pula terlihat besarnya pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang memuat norma-norma kesopanan tidak akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal saja. Menurut Emerson, norma-norma kesopanan menghendaki adanya norma-norma kesopanan pula pada orang lain. (M.Buchori: 157).
Dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan nilai-nilaikesopanan atau nilai-nilai yang erkaitan dengan aspek-aspek spritual akan lebih afektif jika seseorang beradadalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, hasil penelitian Masri Singarimbun terhadap kasus kumpul kebo di Mojolama. Ia menemukan 13 kasus kumpul kebo ini ada hubungannya dengan sukap toleran masyarakat terhadap hidup bersama tanpa nikah (Djamaluddin Ancok: 27). Kasus seperti itu mungkin akan lebih kecil di lingkungan masyarakat yang menentang pola hidup seperti itu.
Di sini terlihat hubungan antara llingkungan dan sukap masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat sendiri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pendidikan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembenukan.

D.    Agama dan masalah sosial.
Tumbuh dan kesadaran agama (religions cons ciausness) dan pengalaman Agama (religions experince), ternyata melalui proses yang gradul, tidak sekaligus. Pengaruh luar sangat berperan dalam menumbuh kembangkan nya, khususnya pendidikan. Adapun pendidikan yang berpengaruh, yakni pendidikan dalam keluarga. Apabila dalam lingkungan keluarga anak-anak tidak diberikan pendidikan agama, biasanya sulit memperoleh kesadaran dan pengalaman agama yang memadai.
Pepatah mengatakan :”Bila anak tidak dididik oleh oarang tuanya, maka ia akan dididik oleh siang dan malam.” Maksud nya pengaruh lingkungan nya akan mengisi dan memberi bentuk dalam jiwa anak itu. Dalam kehidupan dikota-kota basar, Anak-anak kehilangan dari hubungan dengan orang tua cukup banyak, mungkin dikarenakan faktor ekonomi, hingga harus ikut mencari nafkah seharian ataupun karena mereka yatim piatu. Anak-anak ini sering disebut anak jalanan.
Dalam kesehariaan nya, nanak-anak ini umumnya tergabung dalam kelompok pengamen, pemulung, pengemis,dan sebagainya. Mengamati linkungan pergaulan nya sehari-hari serta kegiatan yang mereka lakukan, maka kasus anak jalalan selain dapat menimbulkan kerawanan sosial,juga kerawanan dalam nilai-nilai keagamaan. Selain latar belakang sosial ekonomi, mereka ini tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh bimbingan keagamaan. Bahkan, dikota-kota besar, mereka ini seakan sudah terbentuk menjadi golongan tersendiri dalm masyarakat, Yakni masyarakat rentan.
Sebagi masyarakat rentan, golongan ini seakan berada diluar lingkaran budaya dan tradisi masyrakat umum. Boleh dikatakan mereka mempunyai “budaya” sendiri yang terbentuk diluar kaidah-kaidah dan nilai yang berlaku atau pola fikir,kehidupan yang cenderung permisif (serba boleh).
Bila konflik agama dapat ditimbulkan oleh tindakan radikal, karena sikap fanatisme agama, maka dalam kasus anak jalanan ini, mungkin sebaliknya. Konflik dapat terjadi karena kosong nya nilai-nilai agama. Dalam kondisi kehidupan yang seperti ini, tindakan emosional dapat terjadi sewaktu-waktu. Hal ini dikarenakan tidak adanya nilai-nilai yang dapat mengikat dan mengatur sikap dan perilaku yang negatif.dengan demikian, mereka akan mudah terprofokasi oleh sebagi isi yang berkembang.
Dalam kontes ini sebenarnya institusi pendidikan agama dapat berperan. Demikian organisasi keagamaan. Membiarkan anak jalanan ataupun menyerahkan semua kepada pemerintah, bagai manapun bukan sifat yang arif. Kasus anak jalanan napak nya memang memerlukan penanganan yang serius. Selain menjadi masalah sosial, kasus ini juga menjadi bagian dari masalh keagamaan. Sebagai aplikasi dari kesadaran agama.

E.     Pengaruh Pendidikan Terhadap Psikologi Agama
Psikologi agama yang memepelajari rasa agama dan perkembangannya mempunyai peranan yang saling korelatif dalam pendidikan agama islam. Pendidikan islam sebagi sebuah upaya penyadaran terhadap umat islam akan lebih mudah diterima oleh masyarakat. Pertumbuhan rasa agama akan semakin meningkat dan juga bisa dihubungkan dengan kondisi di sekitarnya, baik sosial,ekonomi, politik hukum dan sebagainya. Peran psikologi agama dalam pendidikan islam lebih memudahkan pemahaman masyarakat dalam menelaah agama secara komprehensif. Agama tidak dipandang hanya sebagi kebutuhan orang-orang tertentu, tapi agama memang menjadi kebutuhan stiap pribadi seseorang yang menjadikan perkembangan pribadi secara psikisnya. Proses penyadaran dan perubahan untuk meningkatkan nilai jiwa keagamaan pun akan mudah di kembangkan.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulakan bahwa Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan agama menurut W.H.Clark, berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit di identifikasisecara jelas, karena masalh menyangkut kejiwaan, manusia begitu rumit dan kompleksnya.
Di sini terlihat hubungan antara llingkungan dan sukap masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat sendiri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pendidikan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembenukan.

B.     Saran.
Kami mohon kepada para pembaca khususnya kepada pembimbing untuk memberikan kritik atau masukan yang membangun demi tersusunnya makalah yang bertema “pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan” ini dapat tersusun secara sempurna, karena kami yakin dengan kelemahan atau kekurangan pengetahuan kami tentang penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan.

 

DAFTAR PUTAKA



Ali Ashraf, Horison. 1993. Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus

Prof.Dr.H Jalaludin.Psikologi Agama (edisi revisi 2004). rajawali Pers: Jakarta.

 Jalaludin. 2005. Psikologi Agama. Jakarta: PT Rajawali Grafindo


 

Kamis, 12 April 2012

MAKALAH IPA (TUMBUHAN HIJAU)


BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
Pendidikan Sekolah Dasar merupakan satuan pendidikan yang paling penting keberadaanya. Setiap orang mengakui bahwa tanpa menyelesaikan pendidikan pada sekolah dasar atau yang sederajat, secara formal seseorang tidak mungkin dapat mengikuti pendidikan selanjutnya. Tingkat kreaktivitas akan selalu meningkat sesuai dengan tingkat pendidikan siswa, hal ini seiring dengan tingkat kematang, kecerdasan, dan pengalaman siswa. Lingkungan tempat belajar dalam mengembangkan kreaktivitas siswa di sekolah dasar salah satunya adalah  “Proses  pembelajaran  IPA  tentang  pembuatan  makanan  pada  tumbuhan  hijau”.  Tumbuhan  hijau sebagai satu contoh sumber belajar jenis specemen benda yang masih hidup. Dapat dimanfaatkan untuk kepentingan belajar siswa terutama mata pelajaran IPA. Masalahnya siswa kelas V SDN masih kesulitan dalam memahami proses pembuatan makanan pada tumbuhan hijau. Sehingga perlu adanya inovasi dalam pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SD dalam memahami proses pembuatan makanan pada tumbuhan hijau.

B.     Rumusan Masalah
Adapun masalaha yang akan dibahas pada kesempatan hari ini adalah:
1.      Bagaimana proses pembuatan makanan pada tumbuhan hijau?
2.      Tumbuhan hijau bersumber sebagai apa saja?
3.      Bagaiamana peran tumbuhan hijau bagi  manusia dan hewan?






BAB II
PEMBAHASAN


A.     Pembuatan Makanan Pada Tumbuhan Hijau
Tumbuhan hijau merupakan satu-satunya makhluk hidup di dunia yang dapat membuat makanannya sendiri. Oleh karena itu, tumbuhan hijau merupakan sumber makanan bagi makhluk hidup lainnya termasuk manusia. Bagaimana tumbuhan hijau membuat makanannya sendiri? Berikut akan dibahas bagaimana proses pembuatan makanan pada tumbuhan hijau.
a.       Proses Tumbuhan Hijau Membuat Makanan

Image:tumbuhan hijau.jpg
Image:tumbuhan hijau.jpg
Gambar di atas merupakan penampang daun yang diperbesar. Perhatikanlah bahwa pada daun terdapat sel yang mengandung kloroplas yang disebut lapisan palisade. Di dalam kloroplas terdapat zat hijau daun yang disebut klorofil. Tunjukkanlah mana bagian sel itu! Klorofil berperan pada proses
pembuatan makanan yang berlangsung di daun. Selain klorofil, untuk membuat makanan tumbuhan juga memerlukan karbondioksida, air, dan sinar matahari. Energi dari sinar matahari digunakan untuk mengubah karbondioksida dan air menjadi glukosa dan oksigen. Proses ini kemudian dikenal dengan nama fotosintesis. Secara singkat, proses fotosintesis dapat di lihat pada diagram berikut ini.
Air + Karbondioksida (CO2) Karbohidrat + Oksigen (O2)
Secara alami, proses fotosintesis hanya berlangsung pada siang hari karena proses ini memerlukan cahaya matahari. Cahaya matahari merupakan sumber energi utama pada proses fotosintesis. Oksigen yang merupakan hasil fotosintesis dikeluarkan oleh tumbuhan melalui mulut daun (stomata) dan digunakan oleh manusia dan hewan pada proses pernapasan, meskipun sebagian digunakannya untuk bernapas. Oleh karena itu, apabila kita pada siang hari duduk di bawah pohon yang daunnya hijau dan rindang, kita merasakan sejuk karena kita banyak menghirup oksigen hasil fotosintesis. Hasil fotosintesis lainnya, yaitu glukosa yang merupakan zat makanan yang akan diedarkan ke seluruh tubuh melalui pembuluh tapis. Pada tumbuhan, glukosa ini digunakan untuk tumbuh, berkembang biak, dan sebagian disimpan sebagai timbunan makanan.
b.       Tempat Menyimpan Timbunan Makanan pada Tumbuhan
Image:tlas.jpg
Image:tlas.jpg
Glukosa yang merupakan zat makanan hasil fotosintesis, selain digunakan untuk tumbuh dan berkembang biak juga disimpan sebagai timbunan makanan. Sebagian besar bagian tumbuhan yang kita makan merupakan timbunan makanan dari tumbuhan tersebut.
Setiap tumbuhan memiliki tempat menyimpan timbunan makanan yang berbeda-beda. Ada tumbuhan yang menyimpan timbunan makanan pada akar, batang, ataupun buah. Berdasarkan tempat menyimpan timbunan makanannya, tumbuhan dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
a.       Tumbuhan yang menyimpan timbunan makanan di dalam umbi
Umbi adalah akar atau batang yang mengembung dan berisi timbunan makanan. Tumbuhan yang timbunan makanannya disimpan di dalam umbi di antaranya adalah kentang, singkong, dan ubi jalar.
Image:umbi.jpg
Image:umbi.jpg
b.      Tumbuhan yang menyimpan timbunan makanannya di dalam buah
Buah-buahan yang kita makan sehari-hari, seperti mangga, pepaya, apel, dan jeruk merupakan timbunan makanan. Timbunan makanan tersebut disimpan oleh tumbuhan di dalam buah.
Image:buah.jpg
Image:buah.jpg
c.       Tumbuhan yang menyimpan timbunan makanan di dalam biji
Kacang hijau, kacang tanah, dan kacang kedelai merupakan kelompok tumbuhan yang meyimpan timbunan makanannya di dalam biji.
d.      Tumbuhan yang menyimpan timbunan makanan di dalam batang
Kamu mungkin pernah memakan batang tebu yang rasanya manis dan segar. Tumbuhan tebu dan sagu merupakan kelompok tumbuhan yangmenyimpan timbunan makanannya di dalam batang.

B.     Tumbuhan Hijau Sebagai Sumber Makanan Manusia dan Hewan
Proses fotosintesis menghasilkan makanan bagi tumbuhan. Makanan ini sebagian digunakan oleh tumbuhan itu sendiri dan sisanya dibawa ke bagian tubuh lain. Manusia dan hewan secara langsung ataupun tidak langsung bergantung pada tumbuhan hijau untuk memperoleh makanan. Daun, batang, buah, biji, dan umbi merupakan bagian dari tumbuhan yang digunakan sebagai sumber makanan bagi manusia dan hewan.Beberapa bagian tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan baik yang langsung dimakan ataupun dimasak terlebih dahulu di antaranya adalah akar, batang, daun, buah, bunga, dan biji.
1.      Akar
Akar merupakan bagian pada tumbuhan yang tumbuh di dalam tanah. Air dan mineral yang dibutuhkan oleh tumbuhan diserap oleh akar dari dalam tanah. Tumbuhan yang akarnya dijadikan bahan makanan, contohnya adalah singkong, wortel, bengkoang, dan lobak.
Image:singkong.jpg
Image:singkong.jpg
2.      Batang
Selain akar, pada bebrapa tumbuhan batang dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Contoh tumbuhan yang dimanfaatkan batangnya sebagai bahan makanan adalah tebu, sagu, dan enau. Pada beberapa tumbuhan bagian batangnya ada yang berubah fungsi menjadi umbi batang, contohnya kentang dan ubi jalar.
3.      Daun
Ibumu mungkin pernah membuat sayur kangkung atau bayam. Bayam dan kangkung merupakan tumbuhan yang dimanfaatkan daunnya sebagai bahan makanan. Selain bayam dan kangkung, tumbuhan lain yang juga dimanfaatkan daunnya sebagai bahan makanan adalah melinjo dan selada.
Image:kangkung.jpg
Image:kangkung.jpg
4.       Buah
Jeruk, apel, mangga, pepaya, dan pisang merupakan jenis tumbuhan yang buahnya dapat langsung dimakan oleh kita tanpa harus diolah terlebih dahulu.Namun demikian, beberapa jenis tumbuhan lain yang dimanfaatkan buahnya sebagai bahan makanan tidak dapat dimakan langsung, seperti terong dan labusiem.
5.      Bunga
Tumbuhan yang bunganya dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan antara lain adalah kol atau kubis dan bawang. Di dalam bunga banyak terkandung mineral dan vitamin.
6.      Biji
Nasi yang berasal dari beras merupakan makanan pokok yang sehari-hari kita makan. Selain itu, di Indonesia makanan pokok lainnya adalah jagung dan gandum. Beras, jagung, dan gandum merupakan biji-bijianyang merupakan sumber karbohidrat. Tumbuhan lain yang bijinya dimanfaatkan sebagai bahan makanan adalah kacang kedelai, kacang tanah, dan kacang panjang.

Image:padi.jpg
Image:padi.jpg

C.     Peranan Penting Tumbuhan Hijau Bagi Manusia dan Hewan
Tumbuhan hijau merupakan sumber makanan bagi manusia dan hewan. Coba bayangkan apa yang akan terjadi apabila tidak ada tumbuhan hijau? Manusia dan hewan sangat bergantung pada tumbuhan hijau. Apabila tidak ada tumbuhan hijau maka tidak tersedia sumber bahan makanan yang digunakan oleh manusia dan hewan untuk tumbuh dan berkembang biak. Selain itu, tidak adanya tumbuhan hijau mengakibatkan tidak ada oksigen yang digunakan oleh manusia dan hewan untuk bernapas.
Image:jalan.jpg
Image:jalan.jpg
Oleh karena itu, agar sumber makanan bagi manusia dan hewan tetap terjaga maka kita perlu menjaga dan memelihara tumbuhan hijau yang ada di lingkungan sekitar kita baik di rumah, di jalan, di kebun, ataupun di sekolah. Salah satu bentuk menjaga dan memelihara tumbuhan hijau adalah tidak merusaknya. Apabila di dunia tidak terdapat tumbuhan hijau maka sumber makanan danoksigen yang dibutuhkan oleh manusia dan hewan tidak tersedia di alam. Hal ini akan menyebabkan manusia dan hewan akan mati. Oleh karena itu, manusia dan hewan sangat bergantung pada tumbuhan hijau yang merupakan sumber makanan.

BAB III
PENUTUP


A.     Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa proses pembuatan makanan pada tumbuhan hijau tidak berbeda dengan proses pembuatan makanan pada tumbuhan umumnya. Proses pembuatan makanan itu juga tidak terlepas oleh bantuan cahaya matahari. Tumbuhan juga sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan hewan.

B.     Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Marilah semua calon pendidik untuk masa yang akan dating, kita bersama-sama belajar mengenai proses pembuatan makanan pada tumbuhan hijau ini.